Selasa, 15 September 2015

apliikasi kurva indeveren

Aplikasi Kurva Indiferen
1.      Analisis Preferensi Waktu Antara Konsumsi dan Menabung
Misalnya kita memiliki tingkat pendapatan pada 2 periode waktu yang berbeda   (t1 dan t2) yakni sebesar Y1 = 100 dan Y2=50 tingkat bunga yang berlaku adalah r = 10%. Jika dari dua pendapatan tersebut digunakan untuk konsumsi pada tahun/periode kedua (C2) maka besarnya konsumsi yang dapat dinikmati adalah Rp 160 (akibat adanya nilai waktu dari uang: 100 (1+10%) + 50). Sebaliknya jika dipergunakan seluruhnya untuk konsumsi periode pertama (C1) maka besarnya akan Rp 145,45. Keadaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

Maks pendapatan Y1 + Y2 (1/1+r)

C2  = Y2 + (Y1- C1) (1 + r)
       = Y2 + Y1 (1 + r) – C1 (1 + r)

Persamaan diatas dapat dipergunakan bila individu bersifat sebagai penabung (saver) maupun sebagai (borrower). Nilai (Y1-C1) yang positif menunjukan individu bertindak sebagai penabung. Nilai tabungan ditambah dengan pendapatan bunganya sebesar (Y1-C1) (1+r) dapat dipergunakan untuk konsumsi pada periode 2. Sebaliknya nilai (Y1-C1) yang negatif menunjukan individu bertindak sebagai borrower.
            Untuk mengetahui apakah individu sebagai saver atau borrower dapat digunakan fungsi utilitas, Y (C1: C2). Dalam grafik dibawah ini dapat diketahui slope dari garis anggaran BD sebesar –(1+r). jika individu memiliki pendapatan sebesar Y1 dan Y2 sedangkan posisi keseimbangan konsumen ada pada titik Z pada slope kedua kurva yang sama, maka kita akan mengetahui posisi individu menabung.[1]



Kurva  NYa BLM


2.      Analisis Kurva Indiferen Pilihan Antara Waktu Luang dan Pendapatan
Penerapan kurva indiferen dapat juga berlaku untuk menemukan penawaran tenaga kerja. Seseorang bekerja antara lain untuk memperoleh pendapatan tetapi disisi lain dengan bekerja berarti waktu luangnya (leasure time) menjadi berkurang. Secara prinsip individu menyukai baik pendapatan maupun waktu luang, sehingga mereka menginginkan keduanya dalam jumlah yang banyak. Karena itu untuk mendapatkan salah satu lebih banyak (missal pendapatan), waktu luang harus dikorbankan. Dengan demikian pada kurva dimana sumbu X mencerminkan waktu luang dan sumbu Y sebagai pendapatan, garis anggaran ber-slope negatif. Keseimbangan diperoleh pada titik E, dengan pendapatan yang diperoleh sebesar B dan waktu luang sebesar C (maksimal waktu luang 24 jam perhari).
Sedangkan pengaruh kenaikan tingkat upah terhadap keseimbangan, dalam hal ini slope garis anggaran berubah (bergerak keluar) dari BL1 à BL2 à BL3 à BL4. Pada tahap pertama individu akan terangsang untuk memperoleh kenaikan tingkat pendapatan (berarti lebih giat bekerja dengan konsekuensi berkurang waktu luangnya). Keseimbangan bergeser dari titik A ke B ke C. pada tingkat upah yang lebih tinggi lagi, individu merasa sudah cukup pendapatannya sehingga rangsangan kenaikan upah tidak diikuti dengan kenaikan waktu kerja (titik D). Jika titik-titik A, B, C. D dipindahkan pada grafik yang lain, dapat dilihat hubungan antara kenaikan tingkat upah dengan jam kerja yang ditawarkan. Perhatikan grafik ini menunjukan kurva penawaran tenaga kerja, yang ber-slope positif. Titik D menunjukan dis-supply dan dikenal dengan backward bending supply curve ( kurva penawaran yang berbalik).[2]


            Kurva nya belum.






[1] Sugiarto, Said Kelana dkk. Ekonomi Mikro. 2000. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama). Hlm. 144
[2] Sugiarto, Said Kelana dkk. Ekonomi Mikro. 2000. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama). Hlm. 146

jual beli menurut perspektif islam

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jual Beli (Al-Ba’i) dan Dasar Hukumnya.
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaiy mengartikannya secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”.[1] Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan oleh para ulama fiqh. Dikalangan Ulama Hanafi terdapat dua definisi, yaitu :
Jual beli adalah saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu, atau menurut definisi lain jual beli adalah tukar menukar sesuau yang diingini dengan cara sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Menurut Syaikh Al-Qalyubi jual beli (ba’i) adalah “Akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah.”[2]

Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesame umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. terdapat beberapa ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah yang berbicara tentang jual beli, antara lain:[3]
a.       Surah al-Baqarah ayat 275
š¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#   ..................................
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba……



b.      Surah al-Baqarah ayat 198
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
c.       Surah an-Nisa ayat 29
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…….”. (Q.S An-Nisa (4): 29)


B.     Jenis-Jenis Jual Beli
1.      Berdasarkan pertukarannya, secara umum dibagi menjadi empat, yaitu :
a.       Jual beli salam (pesanan)
Adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian uangnya diantar belakangan.
b.      Jual beli muqayadhah (barter)
Adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c.       Jual beli mutlaq
Adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
d.      Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.[4]


2.      Berdasarkan segi harga
 Secara umum dibagi menjadi empat, yaitu:[5]
a.       Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
b.      Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual barang dengan harga aslinya (at-tauliyah).
c.       Jual beli rugi (al-khasarah)
d.      Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua akad saling meridhoi, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.

Sedangkan dilihat dari sisi cara standarisasi harga dibagi menjadi:[6]
a.       Jual beli yang memberi peluang bagi calon pembeli untuk menawar barang dagangan, dan penjual tidak memberikan informasi harga beli.
b.       Jual beli amanah, jual beli dimana penjual memberitahukan harga beli barang dagangannya dan mungkin tidaknya penjual memperoleh laba. Jual beli ini dibagi menjadi tiga jenis :
v  Jual beli Murabahah
yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui. Penjual menjual barang dagangannya dengan menghendaki keuntungan yang akan diperoleh.
v  Wadli’ah
yaitu menjual barang dengan harga dibawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui. Penjual dengan alasan tertentu siap menerima kerugian dari barang yang ia jual.
v  Jual beli Tauliyah
yaitu jual beli dengan menjual barang sesuai dengan harga beli penjual. Penjual rela tidak mendapatkan keuntungan dari transaksinya.
v  Jual beli muzayadah (lelang)
yaitu jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu sipenjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut. Saat ini jual beli ini dikenal dengan nama lelang, pembeli yang menawar harga tertinggi adalah yang dipilih oleh penjual, dan transaksi dapat dilakukan.
v  Jual beli munaqadlah (obral).
yakni pembeli menawarkan untuk membeli barang dengan criteria tertentu lalu para penjual berlomba menawarkan dagangannya. Kemudian sipembeli akan membeli dengan harga termurah dari barang yang ditawarkan oleh para penjual.
v  Jual beli muhathah.
yaitu jual beli barang dimana penjual menawarkan diskon kepada pembeli. Jual beli jenis ini banyak dilakukan oleh super market/mini market untuk menarik pembeli.

3.      Berdasarkan cara pembayarannya dibagi menjadi :
a.       Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
b.      Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
c.       Jual beli dengan pembayaran tertunda.
d.      Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.[7]

C.    Jenis-jenis Jual Beli Menurut Para Ahli Fiqh

1.      Menurut Hanafiyah, akad jual beli jumlahnya sangat banyak namun kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi.
a.       Ditinjau dari segi sifatnya, jual beli terbagi menjadi dua bagian:
v  Jual beli yang shahih.
Jual beli yang diisyaratkan dengan memenuhi asalnya dan sifatnya, atau dengan ungkapan lain , jual beli shahih adalah jual beli yang tidak terjadi kerusakan, baik pada rukunnya maupun syaratnya.
v  Jual beli ghair shahih.
Jual beli yang tidak dibenarkan sama sekali oleh syara’ dan dinamakan jual beli batil, atau jual beli yang diisyaratkan dengan terpenuhi pokoknya (rukunnya), tidak sifatnya, dan ini dinamakan jual beli fasid.[8]
b.      Ditinjau dari segi shighat-nya, jual beli terbagi menjadi dua bagian:
v  Jual beli mutlaq.
Jual beli yang dinyatakan dengan shigat (redaksi) yang bebas dari kaitannya dengan syarat  dan sandarannya kepada masa yang akan dating.
v  Jual beli ghairu mutlaq.
Jual beli yang shigatnya (redaksinya) dikaitkan atau disertai dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang akan dating.
c.       Ditinjau dari segi hubungannya dengan barang yang dijual (objek akad), jual beli terbagi menjadi empat bagian:
v  Jual beli muqayadhah.
Jual beli barang dengan barang.
v  Jual beli sharf.
Jual beli tukar menukar emas dengan emas dan perak dengan perak atau menjual salah satu dari keduanya dengan yang lain (emas dengan perak atau perak dengan emas).
v  Jual beli salam.
Jual beli sesuatu yang disebutkan sifat-sifatnya dalam  perjanjian dengan harga (pembayaran) dipercepat (tunai).
v  Jual beli mutlaq.[9]
d.      Ditinjau dari segi harga atau ukurannya, jual beli terbagi menjadiempat bagian:
v  Jual beli murabahah.
Menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.
v  Jual beli tauliyah.
Jual beli barang sesuai dengan harga pertama (pembelian) tanpa tambahan.
v  Jual beli wadi’ah.
Disebut juga al-mahathah jual beli barang dengan mengurangi harga pembelian.
v  Jual beli musawamah.
Jual beli yang biasa berlaku dimana para pihak yang melakukan akad jual beli saling menawar sehingga mereka berdua sepakat atas suatu harga dalam transaksi yang mereka lakukan.[10]
2.      Menurut Syafi’iyah akad jual beli dibagi menjadi dua, yaitu:     
a.       Jual beli yang shahih, jual beli yang terpenuhi syarat dan rukunnya.
b.      Jaul beli fasid, yaitu jual beli yang sebagian rukun dan syaratnya tidak terpenuhi.
Jual beli yang shahih terbagi menjadi beberapa bagian:
v  Jual beli benda yang kelihatan
v  Jual beli yang disifati dalam perjanjian (jual beli salam)
v  Jual beli sharf yaitu jual beli mata uang (emas atau perak)
v  Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan harga asal (pembelian) ditambah dengan keuntungan.
v  Jual beli isyrak jual beli patungan dengan orang lain.
v  Jual beli mahathah  yaitu jual beli di bawah harga pembelian.
v  Jual beli tauliyah, yaitu jual beli barang sesuai dengan harga pertama (pembelian) artinya tanpa keuntungan.
v  Jual beli binatang dengan binatang (jual beli muqayadhah).
v  Jual beli dengan syarat khiyar.
v  Jual beli dengan syarat bebas dari cacat.[11]

3.      Menurut Malikiyah
Malikiyah membagi jual beli secara garis besar menjadi:
a.       Jual beli manfaat
b.      Jual beli benda
Ditinjau dari segi pembayarannya, dibagi menjadi:
a.       Jual beli tunai (Bai’ an-naqd)
b.      Jual beli utang dengan utang,  (bai’ ad-dain bi ad-dain), jual beli dimana harga dan barang diserahkan nanti. Ini termasuk jual beli yang dilarang.
c.       Jaul beli tempo (al-bai’ li ajal), harga dibayar tempo sedangkan barang diberikan tunai.
d.      Jual beli salam (jual beli pesanan).

4.      Menurut Hanabilah
Membagi jual beli menjadi dua bagian, yaitu:
a.      Shahih lazim.
b.      Fasid (membatalkan jual beli).
Jual beli shahih ada tiga macam, yaitu:
v  Jual beli dengan syarat yang dikehendaki oleh akad, seperti syarat saling menerima (taqabudh).
v  Jual beli dengan ditangguhkannya semua harga, atau sebagiannya untuk waktu tertentu, dengan syarat gadai.
v  Jual beli dengan syarat yang dikemukakan oleh penjual kepada pembeli bahwa ia akan memanfaatkan barang yang dijual untuk waktu tertentu dan jenis manfaat tertentu.[12]