Selasa, 15 September 2015

epistemologi

Epistemologi Menurut Pandangan Al Quran

Epistemologi menurut pandangan Al Quran menurut para Ulama disebut juga dengan Nazhariah Al Ma’rifah (Epistemologi), merupakan satu masalah yang penting. Pada masa sekarang ini , berbagai filsafat sosial,fakultas,ideologi, isme, merupakan perkara yang sangat penting karena selain individu berkeinginan untuk memililki satu bentuk pemikiran yang akan dijadikan sebagai landasan dalam aktivitas kehidupannya, juga sebagai jargon aliran dan ideologi. Saat ini sering terjadi pertikaian dan perselisihan antar pelbagai ideologi, fakultas, dan isme,
Sejak dahulu Senantiasa terjadi pertikaian dalam masalah ideologi, akidah dan bentuk pemikiran. Pada masa dahulu sebagian bentuk besar pemikiran dan akidah berada disisi permasalahan yang sifatnya teori semata dan itupun hanya terdapat dalam kalangan khusus saja. Tetapi pada masa sekarang ini,dikarenakan berbagai filsafat sosial tentang telah melangkahkan kakinya ke tengah masyarakat, maka peperangan akidah yakni peperangan antar fakultas, ideologi dan isme semakin bertambah besar dan luas.

Hubungan Antara Ideologi dan Pandangan Dunia
            Sandaran dan dasar dari berbagai ideologi adalah pada pandangan dunianya. Pandangan dunia, ialah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, hasil kajian, yang ada pada seseorang berkenaan dengan alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah.
            Berbagai golongan dan individu memiliki pandangan dunia yang saling berbeda. Yaitu satu golongan meyakini alam ini demikian dan golongan lain yang menyatakan bahwa alam ini adalah demikian. Jika pandangan dunia saling berbeda pula. Karena sandaran dan asas ideologi pun akan saling berbeda pula. karena sandaran dan asas ideologi serta yang memperkuat satu bentuk pemikiran itu adalah pandangan dunia.
            Ideologi menentukan sederetan perintah dan larangan ; ia mengajak manusia pada sebuah tujuan tertentu serta menunjukan jalan yang dapat mengantarkan sampai jalan tersebut. Ideologi akan menentukan mengenai kita seharusnya bagaimana kita harus hidup yang bagaimana  ,kita harus membina yang bagaimana ,kita harus membina diri berdasarkan pola yang bagaimana bagaimanakah kita membina dan membangun masyarakat kita ini. Ideologi menetukan semua permasalahan itu dan mengatakan, “Harus demikian kalian harus hidup secara demikian kalian harus jadi demikian, binalah dirimu semacam ini, bangunlah masyarakatmu semacam ini.”
Semuanya memiliki alasan “mengapa”. Anda mengatakan “harus begini” lalu mengapa saya mesti begini tidak “begitu” ? Anda mengatakan, “harus semacam ini” binalah dirimu semacam ini ,pilihlah tujuan semacam ini pilihlah tujuan semacam ini.” Berbagai “mengapa” ini akan dijawab oleh pandangan dunia. Ketika saya menyatakan kalian harus demikian, adalah karena alam ini demikian, manusia adalah satu wujud  esensi dan hakikat manusia adalah demikian, esensi dan hakikat masyarakat ialah demikian jiwa manusia memiliki identitas, hukum dan ketentuan yang demikian. Pandangan dunia akan memberi tahu mengenai apa” yang ada “ dan apa “yang tidak ada” ketentuan dan hukum – hukum apa sajakah yang berlaku pada alam dan manusia, hukum-hukum apa  yang berlaku pada masyarakat, kemana arah gerakan yang ada, bagaimana gerakan alam ini, serta apa hakikat dari keberadaan ini.
            Bagaimanapun bentuk yang kita pikirkan tentang pandangan dunia, maka ideologi kita juga akan selalu mengikuti bentuk pandangan dunia tersebut. Sebagai misal, tidak mungkin ada orang yang menyakini bahwa alam ini andalah materi semata, akan tetapi pada saat yang sama ia memikirkan adanya akan adanya kehidupan yang kekal abadi yakni memiliki satu bentuk tuntunan,bahwa jika engkau hendak hidup bahagia dalam sana, maka engkau mesti berbuat demikian. dalam bentuk pandangan itu (materialistisme) tidak ada lagi pembahasan mengenai kebahagiaan yang kekal dan abadi. Dari sinilah bahwa ideologi merupakan buah hasil dari “pandangan dunia”. Pandangan dunia , tidak ubahnya seperti “bangunan bawah” (Asas fondasi) dari suatu pemikiran sedangkan ideologi adalah ”bangunan atas” bentuk satu pemikiran itu yakni dalam satu sistem pemikiran manusia “pandangan dunia” tidak ubahnya semacam bangunan yang paling bawah, dan ideologi adalah bangunan bagian atas yang ideologi didirikan berdasarkan pada berbagai ketentuan dan tuntunan yang ada padanya (pandangan dunia). Jika hendak menjelaskan  permasalahan ini dengan menggunakan pernyataan ulama kuno, maka mesti mengatakan ideologi ialah hikmat amali (Ilmu Praktis) dan pandangan dunia adalah hasil dari hikmat nazhari, dan bukannya hikmat Azhari buah dari hikmat amali.
Akar Perbedaan Pandangan Dunia
Kesimpulan bahwa ideologi adalah hasil pandangan dunia. Kemudian muncul pertanyaan yang lain : Mengapa bentuk pandangan dunia berbeda-beda? Mengapa ada sebagian yang memiliki pola pikir materialistis sementara yang memiliki pandangan dunia Ilahi (meyakini keberadaan Tuhan) sebagian menghasilkan argumen ,dari argumen tersebut menghasilkan satu bentuk pandangan dunia dan sebagian lain juga mengeluarkan sederetan argumen dan dari argumen itu juga menghasilkan satu bentuk pandangan dunia yang berbeda.
Jawabannya adalah, kara sebagian memandang alam ini meiliki suatu bentuk , dan sebagiannya lagi memandang memiliki bentuk yang lain; yang satu pengetahuannya mengenai alam adalah demikian dan tidak mungkin pengetahuan yang ini benar dan itu juga benar  dari dua bentuk pengetahuan ini  salah satunya salah dan yang lainnya benar disinilah letak pembahasan mengenai epistemologi, bentuk epistemologi yang benar dan mana epistemologi yang salah.

Urgensi Pengetahuan
Dunia ini penuh dengan berbagai fakultas, isme,dan ideologi. Isme dan setiap ideologi pasti berdasarkan pada satu “pandangan dunia” dan “pandangan dunia” berpijak pada epistemologi. Ideologi materialistis tentunya berlandaskan pada pandangan dunia materialistis, dan pandangan itu juga berlandaskan pada satu bentuk pandangan khusus terhadap satu epistemologi. Sedangkan yang lain, yang memiliki bentuk ideologi yang berbeda, juga berlandaskan bentuk yang lain dari pandangan dunia, dan pandangan itu juga berlandaskan pada suatu epistemologi. Disebabkan semua ini ,
Masalah epistemologi merupakan satu masalah yang amat penting, sedangkan pada masa yang lalu mereka tidak merasakan pentingnya masalah ini. Sebagaimana yang telah dirasakan oleh mereka yang hidup sekarang ini. Tetapi masalah epistemologi adalah satu masalah yang sudah ada sejak dulu , kurang lebih dari masa dua ebi tahun yang lalu. Didalam filsafat Islam, kita tidak akan menjumpai bab yang berjuduk Nazhariah al Ma’rifah atau “Teori Pengetahuan” tetapi sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah epistemologi dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan Ilmu, Pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan bentuk-bentuk pemikiran serta pembahasan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan diri dan jiwa.
Oleh sebab itu,maka sejak dahulu sedikit banyak mereka juga memahami pentingnya masalah epistemologi , namun sekarang ini, filsafat dunia sekarang ini lebih banyak berputar pada masalah epistemologi.
Penulis tidak akan banyak memaparkan seluruh permasalahan yang berhubungan tentang masalah epistemologi, tetapi penulis akan memaparka bagian-bagian terpenting agar menjadi sistematis dan ilmiah.
Kemungkinan pengetahuan
Pembicaraan pertama dalam bab epistemologi yang sejak dahulu ialah,mungkinkah manusia memiliki pengetahuan ? mungkinah kita mengetahui dan memahami alam ini. Mungkinkah kita mengetahui hakikat manusia? Mungkinkah kita mengetahui hakikat wujud ini ? ada sebagian orang yang secara total menolaknya dan yang menyatakan manusia tidak mungkin memiliki  pengetahuan. Yakni pada diri manusia tidak ada satu bentuk pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai sandaran dan dapat dipercaya. Istilah agnotisisme sudah merupakan kodrat ketentuan dan nasib manusia yang tidak dapat diubah, secara sekilas fakultas ini merupakan fakultas yang lemah dan tidak perlu dihiraukan, namun para pendukung fakultas ini memiliki berbagai argumen yang amat kuat, yang tidak mudah untuk dipatahkan. Penulis tidak mengaakan hal itu tidak mungkin (mematahkan argumen mereka) tetapi penulis katakan hal itu tidak mudah.

Pyhro Dan Kemungkinan Pengetahuan
Pada masa setelah Socrates, ada sekelompok orang yang menamakan dirinya “sophisme” dan yang terkenal diantara mereka adalah seorang yang bernama Pyhro. Ia menyajikan sepuluh argumen mengenai ketidakmungkinan manusia memiliki pengetahuan. Ia mengatakan “mengetahui adalah satu yang mustahil, ‘ragu’ dan ‘saya tidak tahu’ adalah ketentuan dan nasib pasti manusia“ argumen sederhana yang ia sampaikan adalah; “bila manusia hendak mengetahui sesuatu, apa alat dan instrumen yang akan ia gunakan? Kita tidak memiliki alat lebih dari dua, indra dan rasio. Sekarang saya bertanya ‘apakah indra dapat berbuat salah atau tidak? Pasti semua akan menjawab kesalahan terjadi pada indra penglihatan,pendengaran, perasa, peraba dan penciuman tidak terhitung jumlahny, bahkan ada yang menyatakan mampu untuk membuktikan seratus kesalahan yang telah dilakukan oleh alat penglihatan. Ia melanjutkan “sesuatu yang ada kemungkinan salah dan dapat menjadi salah, tidak dapat dijadikan sandaran dan pandangan. Ketika saya melihat sesuatu dan ternyata penglihatan saya itu salah maka saya tidak dapat mempercayai penglihatan saya ketika penglihatan itu melihat penglihatan yang lain.”
Lalu bagaimana dengan rasio?Ia mengatakan
“ Rasio justru banyak melakukan kesalahan melebih indra. Pada berbagai argumen yang rasio, ilmuwan dan para filosof sering kali melakukan kesalahan. Dengan demikian, maka indra dapat melakukan kesalahan, dan rasio pun juga dapat melakukan kesalahan sementara kita tidak memiliki sesuatu yang lain selain hal ini oleh kara itu bagaimanapun dan apapun yang kita pikirkan, apapun yang berhubungan dengan rasio dan indra ataupun keduanya, maka jelas dapat menjadi salah, dengan demikian maka kita tidak dapat mempercayainya dan menjadikan keduanya itu sebagai pegangan.”

Keraguan Al-Ghazali
Di antara ulama Islam yang pertama kali memulai filsafat dan alirannya berangkat dari keraguan adalah al-Ghazali. Al-Ghazali memulai aktivitasnya dari keraguan, sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes. Kedua sosok itu berangkat dari titik yang sama. Keduanya memulai aktivitasnya dari keraguan dan keduanya menyatakan bahwa telah berhasil meraih keyakinan. Tetapi ada dari mereka yang melalui aktivitasnya dari keraguan dan tetap berada dalam keraguan. Tatkala al-Ghazali hendak memulai menuntut ilmu, ia meragukan segala yang ada. Yakni dia meragukan apa saja yang telah ia gapai. Ia mulai menuju indera dan mengatakan,
“Sekarang saya duduk disini, buku ada di depan saya, pena dan kertas ada di tangan saya, sedang melihat angkasa, saya tengah mendengar berbagai suara, sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak dapat ragu terhadap keraguan saya ini”.



Descartes Dan Masalah Pengetahuan
Descartes juga saat meneliti “pandangan dunia”nya, memeriksa keyakinannya terhadap agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika), filsafat dan berbagai ilmu-ilmu lainnya, tiba-tiba ia terperosok ke dalam masalah pengetahuan dalam mengatakan,
“Dengan dalil apa saat saya menyatakan bahwa alam ini adalah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, roh itu ada, dunia ini ada, kota paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian?”
Kemudian ia menuju pada berbagai alat dan instrumen epistemologi, ia melihat bahwa semuanya masih dapat diperdebatkan lagi. Ia hendak bersandar pada indra, ia melihat bahwa indera adalah yang paling lemah dan rapuh dibandingkan yang lain. Ia hendak bersandar pada rasio, ia juga melihat rasio juga terdapat kelemahan. Tiba-tiba ia merasakan kehilangan keyakinan dan kepercayaan, ia mulai meragukan segalanya dan tidak tersisa lagi keyakinan dalam dirinya. Ketika ia telah tenggelam dalam rasa bimbang dan ragu-ragu ini, tiba-tiba ia disadarkan oleh poin ini dimana ia mengatakan,
“Meskipun saya meragukan segala yang ada, tetapi saya tidak ragu bahwa saya sedang dalam keadaan ragu”.

Jawaban Atas Keraguan Pyrho
Masalah pertama epitemologi adalah masalah probabilitas pengetahuan yaitu mungkinkah manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan mengetahui?
Pyrho mengatakan bahwa manusia tidak mampu memahami dan mengetahui (hal itu berdasarkan argumen-argumennya yang telah saya kemukakan). Yang jelas, mereka telah mampu untuk memberikan jawaban dan sanggahan atas pandangan pyrho itu.
Sebagian dari pengetahuan kita ini salah dan pasti sebagian yang lain adalah benar, lalu (dengan menggunakan epistemologi yang benar itu) kita melakukan koreksi pada epistemologi yang salah itu. Dari sinilah munculnya ilmu logika (mantiq). Mereka memberikan jawaban kepada Pyrho sebagai berikut,
“Anda mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan dengan dalil bahwa penglihatan saya terkadang keliru, suatu kali saya pernah melihat seakan-akan ada seorang yang berkepala dua, ranting pohon yang setengahnya berada dalam air terlihat patah dan lain sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa indera dapat melakukan  kekeliruan, apakah saat anda menyaksikan indera melakukan kekeliruan, saat itu juga anda merasa yakin bahwa itu adalah suatu kekeliruan, ataukah anda merasa ragu bahwa indera itu telah melakukan kekeliruan? Ketika Anda mengatakan bahwa saat saya bangun dari tidur, dan saya mengusap kedua mata saya, saya melihat orang yang tengah berdiri dihadapan saya memiliki dua hidung dan empat mata, lalu Anda mengatkan bahwa ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda mengetahui dan yakin bahwa itu adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga bahwa itu adalah kekeliruan? Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah kekeliruan, pasti itu tidak memiliki dua hidung dan empat mata.”
Oleh karena itu, kita harus mengatakan,
“Manusia, pada sebagian pengetahuan yang ia miliki terdapat kekeliruan juga secara pasti tidak terdapat kekeliruan pada sebagian pengetahuannya yang lain.”
Logika adalah sebuah ilmu yang merupkan asas dari pengetahuan. Berkaitan dengan mungkin atau tidak mungkinnya memperoleh pengetahuan, sebagian yang menyatakan bahwa kita tidak mungkin memperoleh pengetahuan adalah karena mereka mengeneralilisasi permasalahan yang ada, sementara mereka yang menyatakan bahwa kita ada kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang salah dan yang benar, dan dengan neraca itu pula mereka akan memisah-misahkan antara pengetahuan yang salah dan pengetahuan yang benar.
Sekalipun (Al-Qur’an menyatakan) ada kemungkinan untuk memperoleh penegtahuan, tetapi dikarenakan hal itu datangnya dari Al-Qur’an dan mazhab, maka pengetahuan yang berada dalam lingkup ideologi itu, kemungkinan akan memiliki suatu hukum tertentu, dan hukum tersebut ialah: apakah pengetahuan itu dibenarkan oleh syariat (masyru’) ataukah bahkan dilarang (mamnu’)?
Di dalam Taurat permasalahan ini dijelaskan dengan sebuah penjelasan yang lain dari pada yang lain, dan dikarenakan kita meyakini bahwa Taurat adalah  sebuah kitab yang didalamnya telah terjadi perubahan dan penyimpangan – yakni tatkala kita membandingkannya dengan Al-Qur’an, suatu permasalahan yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan juga oleh Taurat dalam menjelaskan permasalahan itu bertolak belakang dengan penjelasan Al-Qur’an.

Penyimpangan Sejarah Paling Merugikan
kisah Nabi Adam as selain tercantum dalam Al-Qur’an juga tercantum dalam taurat. Kisah tersebut ialah: Adam as dan istrinya selama berada di surga diperbolehkan untuk menikmati berbagai kenikmatan dan seluruh buah-buahan yang ada, namun di sana terdapat suatu jenis pohon yang mana mereka berdua tidak diperbolehkan untuk mendekatinya dan memakan buahnya. Adam as memakan buah pohon tersebut dan dikarenakan hal itulah maka ia dikeluarkan dari surga. Inilah kisah yang terdapat dalam al-Qur’an dan juga Taurat.
Buah terlarang yang dimaksudkan di atas itu adalah berhubungan dengan sisi kebinatangan (hayawaniah) manusia dan bukan berhubungan dengan sisi kemanusiaan (insaniah) manuai. Yakni suatu perkara yang merupakan bagian dari hawa nafsu, keserakahan, iri, dengki, yang menurut istilah disebut dengan “anti kemanusiaan”. Janganlah engkau mendekati pohon tamak, yakni janganlah engkau merasa tamak. Janganlah engkau mendekati pohon dengki, yakni janganlah engkau mendengki. Tetapi Adam as, menjatuhkan dirinya dari kemanusiaan dan mendekati pohon itu. Ia mendekati pada tamak, serakah, dengki, takabur, yakni mendekati pada berbagai perkara yang merendahkan serta menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Allah SWT berfirman kepadanya, “keluarlah dari sini.” (kapan Allah mengusir dari surga?) Allah mengusir dari surga setelah,
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!”
Setelah Allah mengajarkan kepadanya seluruh hakikat. (lalu Allah berfirman), “Ini bukan tempat tinggalmu, keluarlah dari sini!”
Isi kitab taurat telah diselewengkan oleh orang-orang yang memiliki tujuan keji, di mana di sana disebutkan bahwa pohon yang tidak boleh didekati oleh Adam adalah berhubungan dengan sisi kemanusiaan Adam dan bukan berhubungan dengan sisi kebinatangan, berkaitan dengan ketingian kedudukan Adam dan bukan kerendahan kedudukan Adam. Bagi Adam terdapat dua bentuk kesempurnaan dan Allah tidak menginginkan kedua kesempurnaan itu diraih oleh Adam secara sekaligus; pertama, kesempurnaan pengetahuan dan kedua: kekekalan di surga.
 Adam telah merasakan bauh dari pohon pengetahuan, lalu matanya terbuka dan pada saat itu ia mulai mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Ia bergumam, “Sebelum ini saya dalam keadaan buta, sekarang ini mata saya terbuka. “Kemudian Allah SWT berfirman kepada para malaikat.” Lihatlah! Kami tidak menghendaki ia menikmati buah dari pohon pengetahuan dan epistemologi, tetapi ia telah memakannya, dan matanya menjadi terbuka. Ini amat berbahaya jika ia sampai memakan buah pohon kekekalan, yang akhirnya ia akan hidup kekal. Dengan demikian maka sebaiknya kita keluarkan saja ia dari surga!”.
Bentuk pengetahuan dan penyelewengan ini, mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Akhrnya mereka mengatakan, “Dengan demikian maka cukup jelas, adanya kontradiksi antara agama dan pengetahuan. Adam mesti beragama dan mematuhi perintah Tuhan, atau memakan buah pengetahuan sehingga mataya menjadi terbuka, atau mematuhi perintah Tuhan dan matanya tetap dalam keadaan buta dan tidak mengetahui sesuatu apapun, atau memiliki pengetahuan tetapi melanggar perintah Tuhan. “Kemudian lambat laun di Eropa muncul berbagai ungkapan di antaranya ialah, “Jika seseorang yang mengikuti Socrates, mesti hidup sengsara dan kelaparan, tetapi itu justru jauh lebih baik dari pada menjadi budak,” “Sehari saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan-pen), itu jauh lebih saya sukai dari pada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh-pen) dan kemudian berharap akan masuk surga,” “Saya lebih suka berada dalam neraka Jahanam denagn mata terbuka (memiliki pengetahuan-pen), dari pada berada dalam surga dalam keadaan buta (bodoh-pen).”
Hal inilah yang menyebabkan di Eropa muncul sebuah pemikiran yang sangat mengkhawatirkan, yaitu adanya kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Anda jangan mengira bahwa pemikiran semacam ini munculnya dari mepat ilmuwan yang mengeluarkan pendapatnya. Tidak, tetapi akar pemikiran itu terdapat dalam agama Nasrani dan Yahudi yang keduanya mengangap Taurat sebagai “perjanjian lama” dari kitab samawi. Yakni di sana disebutkan bahwa kalian meski konsisten terhadap agama dan nantinya kalian masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, makan, minum, tidur dengan leluasa serta berkeliling ke berbagai penjuru surga, tetapi mata kalian mesti dalam keadaan tertutup. Tetapi jika mata kalian terbuka, maka kalian mesti hidup dalam keadaan sengsara dan menanggung berbagai beban penderitaan.

Al-Qur’an Dan Kisah Adam As
Sebelum nabi Adam as menempati surga telah dikatakan kepadanya untuk tetap tinggal di sana, matanya dalam keadaan terbuka, telah mengetahui berbagai rahasia alam, ia adalah seorang manusia dan bukan seekor binatang yang matanya dalam keadaan tertutup, dan karena memakan buah dari pohon itu lalu matanya menjadi terbuka. Sejak pertama masuk ke dalam surga Adam as adalah seorang manusi, maka ia memiliki pengetahuan, epistemologi, memahami dan mengetahui berbagai hakikat. Adam as dikeluarkan dari surga adalah karena ia telah keluar dari sisi kemanusiaan.

Dari Epistemologi Ke Filsafat Ilmu
Bahwa baik epistemologi maupun filsafat ilmu sama-sama merupakan cabang filsafat yang secara khusus membahas proses keilmuan manusia. Keduanya memiliki lebih banyak persamaan dari pada perbedaan. Perbedaan itu hanyalah terletak pada objek material (baca: objek kajian) nya, yakni dalam hal ini epistemilogi menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai objek kajiannya, sedang filsafat ilmu, objek kajiannya adalah ilmu pengetahuan. Meski demikian, dewasa ini kedua objek kajian ini sudah merupakan pembahasan yang – bisa dikatakan -  beda tipis (untuk tidak mengatakan sama).
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme, yang berarti pengetahuan dan Logos yang berarti ilmu. Dalam bidang ini terdapat tiga persoalan pokok: (a). Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya? (b). Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? (ini adalah persoalan yang mengarah pada problem phenomena dan noumena). (c). Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?  Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (poin ini adalah yang mengarah pada problem verifikasi. Tiga persoalan pokok ini merupakan objek formal dari epistemologi, sekaligus merupakan objek formal dari filsafat ilmu, sebagai perspektif dalam melihat objek materialnya, yakni ilmu. Dari sinilah kemudian dikenal istilah hakikat ilmu atau struktur fundamental ilmu, yang tak lain adalah persoalan-peroalan pokok di atas.
Epistemologi maupun filsafat ilmu, memiliki sejarahnya masing-masing, namun karena adanya persamaan perspektif dalam melihat objek kajiannya, maka bisa difahami jika dalam banyak litelatur kedua disiplin tersebut kemudian terlihat identik. Dalam filsafat ilmu, kemudian dikenal dengan “asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia”.
Filsafat ilmu merupakan perkembangan lebih jauh dari epistemologi. Epistemologi sebenarnya telah memperoleh maknanya yang baru, sekaligus memiliki maknanya yang luas sampai pada ‘garapan’ filsafat ilmu.

Berkenalan Dengan Epistemologi Islam
Pembahasan ini akan membicarakan rekontruksi Al-Jabiri tentang tipologi “Epistemologi Islam”, yaitu bayani, irfani, dan burhani. Pemikiran al-Jabiri ini di tuangkan secara luas dalam bukunya: Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993).

Epistemologi Bayani
Bayani dalam bahasa Arab berarti penjelasan (explanation). Arti asal katanya adalah menyingkap dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafadz yang paling baik (komunikatif). Para ahli ushul fiqh memberikan pengertian, bahwa bayan adalah upaya menyingkap makna dari pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada para mukallaf. Artinya bisa disebut sebagai upaya mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.
Al-Jabiri memaknai al-bayan secara etimologis, dengan mengacu kepada kamus Lisan al-Arab karya Ibn Mandzur, yang didalamnya tersedia materi-materi bahasa Arab sejak permulaan masa tadwin, yang masih mempunyai makna asli yang belum tercampuri oleh pengertian lain, karena dari makna asli tersebut akan diketahui watak dan situasi yang mengitarinya.
Sedang secara terminologis kajian bayani terbagi kepada dua, yaitu : aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin al-tafsir al-khithabi) dan syarat-syarat memprodulsi wacana. (syurut intaj al-khithabi).
Bagi Al-Jahidz, untuk mendapatkan makna yang tepat perlu ditetapkan syarat-syarat di dalam pengambilan kesimpulan, yaitu: 1) Bayan dengan mensyaratkan kefasihan ucapan sebagai penentu makna; 2) Bayan dengan seleksi huruf dan lafadz; 3) Bayan dengan makna terbuka. Dalam hal ini makna bisa diungkap dengan salah satu dari lima bentuk penjelasan, yaitu lafadz, isyarah, tulisan, keyakinan, dan keadaan atau nishbah; dan 4) Bayan dengan syarat keindahan.
Epistemologi Bayani, tidak cukup hanya dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa dan proses transmisinya, namun juga harus berpijak pada ‘dalil-dalil’ burhani.

Epistemologi Irfani
Irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata ‘arafa, yang semakna dengan ma’rifat. Dalam bahasa arab istilah al-Irfan berbeda dengan kata al-ilm. Al-ilm menunjukkan pemerolehan objek pengetahuan (al-ma’lumat) melalui tranformasi (naql) ataupun rasionalitas (aql), sementara irfan atau ma’rifat berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek pengetahuan.
Bagi kalangan irfaniyun, pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, tetapi harus melalui pengalaman langsung (mubasyaroh).
Jika sumber pokok (origin)  ilmu pengetahuan dalam epistemologi bayani adalah teks (wahyu), dalam epistemologi irfani ini, sumber pokoknya adalah experience (pengalaman).
Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam penggalian ilmu adalah psikognosis, intuisi, ilham, qalb, dlamir dan semacamnya.
Apabila dalam epistemologi bayani terdapat konsep lafadz dan makna, dalam irfani terdapat konsep dzahir  dan batin sebagai kerangka dasar atas pandangannya terhadap dunia (world view) dan cara memperlakukannya.
Epistemologi Burhani
Dalam bahasa arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration yang mempunyai akar bahasa latin: demonstratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Dalam memandang proses keilmuan, kaum burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat dimana hakikat sebenarnya adalah universal.
Secara struktural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama adalah proses eksperimentasi yaknni pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; dan ketiga adalah ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.

Pendapat:
Kritik pada bukunya Muhhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar, 2004): Menurut penyusun, buku ini sangat bagus karena buku ini menjelaskan tentang Epistemologi ke Filsafat Ilmu dan Berkenalan dengan Epistemologi Islam. Dan menjelaskan pengertian dari Epistemologi itu sendiri, tapi buku ini kurang lengkap karena tidak menjelaskan tentang Epistemologi menurut Pandangan Al-Qur’an.
Kritik pada bukunya Murtadha Muthahahhari: buku ini juga sangat bagus tapi ada kata-kata yang belum bisa di pengerti oleh penyusun yaitu
“Jika seseorang yang mengikuti Socrates, mesti hidup sengsara dan kelaparan, tetapi itu justru jauh lebih baik dari pada menjadi budak,” “Sehari saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan-pen), itu jauh lebih saya sukai dari pada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh-pen) dan kemudian berharap akan masuk surga,” “Saya lebih suka berada dalam neraka Jahanam dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan-pen), dari pada berada dalam surga dalam keadaan buta (bodoh-pen).”
Dalam ungkapannya Socrates yang di atas itu, sebenarnya apa yang tengah terjadi pada saat itu? Apakah semua orang menyetujui dengan ungkapan Socrates?
Bila dilihat dari kedua buku, kedua-duanya bagus dan saling melengkapi karena pembahasan yang tidak ada di bukunya Muhhammad Muslih itu ada di bukunya Murtadha Muthahahhari.
Saran: penyusun mengharapkan agar pembaca tidak hanya membaca resuman ini, tapi lebih di perbanyak membaca dari buku para karya lainnya.
Dia (Allah) menegaskan bahwa di sini (Surga) adalah tempat untuk manusia. Adam as telah keuar dari kemanusiaannya dan diturunkan dari surga. Adam as tidak mengamalkan pengetahuan yang ia miliki.
Pengetahuan melahirkan “pandangan dunia”, dan “pandangan dunia” melahirkan ideology dan ideologi perlu pengalaman. “Saya (Adam) adalah manusia dan saya mengetahui berbagai hakikat.Dan karena saya Adam mengetahui Alam semesta sedemikian rupa, maka saya terikat dengan harus (perintah) dan tidak harus (larangan). Tetapi saya tidak menghiraukan ‘harus dan tidak harus’ itu, tidak merasakan adanya rasa tanggung jawab, semestinya sekalipun adanya bisikan:’ Pohon itu adalah pohon kekalan, karena Allah merasa iri kepadamu, maka Dia melarangmu memakan buahnya. Sekarang pergilah kepohon itu dan makanlah buahnya’
Wahai Adam! Anda adalah seorang manusia, Anda memiliki epistemology, Anda memiliki ‘Pandangan dunia”, Anda memiliki idologi, dan pada akhirnya ideologi membutuhkan amal perbuatan (perbuatan memiliki dua sisi: sisi positif dan sisi negative), diperlukan ketakwaan , dan menjaga diri.
Dalam logika islam, sebab Adam as dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak mengamalkan peringkat ke empat dari pengetahuannya. Peringkat pertama adalah epistemology, kemudian “pandangan hidup”, kemudian ideologi dan terakhir ideology mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak mengakui pelarangan penggalian pengetahuan, tetapi bahkan mendukung pengetahuan. Hal ini cukup jelas, ketika Al-Qur’an mengajak manusia pada pengetahuan, Al-Qur’an sama sekali tak mengajak pada sesuatu yang tidak mungkin (mustahil). Apa yang hendak dikatakan oleh Al-Quran saat menceritakan kisah Adam as dan keluasan pengetahuannya? Al-Qur’an hendak mengatakan, “Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan yang tidak terbatas, dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.” Dengan demikian maka Al-Quran mengakui adanya kemungkinan untuk memperoleh epistimologi.
Dengan kisah itu Al-Quraan hendak menyatakan kepada seluruh manusia, “Wahai manusia! Kalian adalah anak-anak Adam as itu, Anak dari Adam as yang memiliki pengetahuan sedemikian rupaa. Kalian adalah anak Adam as yang telah berhasil memperoleh pengetahauan yang tidak terbatas. Oleh karena itu pergilih menuju pengetahuan yang tidak terbatas. Kalian adalah anak pengetahuan.” Menurut pandangan Al-Quraan, anak Adam as adalah sama dengan anak pengetahuan.



Ajakan Al-Quran Pada Pengetahuan.
Dalam Al-Qur’an terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk memperhatikan, melihat, dan merenungkan. Dalam Al-Qur’an terdapat berbagai ungkapan semacam ini, Katakanlah:”Perhatikanlah apa yang ada dilangit dan di bumi.”(QS, Yunus:101)
Al-Qur’an hendak menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada dilangit dan di bumi dengan menyatakan, “Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu dan kenalilah masyarakat serta sejarahmu.” Bahkan Ayat, Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. (QS. Al-Maidah:105)
Al-Qur’an mengatakan: Dan Allah mengambil kesaksian dalam diri mereka. (QS. Al- A’raf; 172) . Yakni manusia memberikan kesaksian atas diri mereka sendiri. Pemberian kesaksian ini ada dua bentuk. Yang pertama disebut dengan “menunaikan kesaksian” (ada’ asy-syahadah): Adakalanya seseorang member kesaksian atas sesuatu yang sebelumnya pernah ia lihat dan saksikan, kemudian ia menyampaikan kepada orang lain dan memberikan kesaksian. Dan yang kedua disebut dengan “menanggung kesaksian” (tahammul asy-syahadah): Adakalanya ada seseorang yang dihadirkan di suatu tempat untuk kemudian ia akan dijadikan sebagai saksi.
Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah menunjukan manusia kepada dirinya sendiri (alhasil ayat ini adalah salah satu ayat yang berkenaan dengan fitrah). Tatkala manusia telah meliahat diri mereka sendiri, kemudian Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Bukankah Aku adalah Tuhanmu?. Mereka menjawab, “Ya.’Disini Al-Qur’an tidak menunjukan bahwa Allah tidak menunjukan Zat-Nya kepada manusia.
Ketika engakau melihat dirimu sendiri maka engkau akan melihat-Ku, ketika engakau melihat dirimu sendiri maka engkau akan mengenal-Ku. Ungkapan “Barangsiapa yang mengenal dirinya, ia telah mengenal Tuhan-nya.” Merupakan sebuah ungkapan popular di dunia.
Semua penjelasan yang diberikan  oleh selain Al-Qur’an, senantiasa meletakan dua pengenalan itu secara berurutan, sedangkan Al-Qur’an menjelaskannya dengan sebuah kalimat bahwa manusia cukup dengan mengenal diri, karena jia telah mengenal diri maka telah meliahat Tuhan. Al-Qur’an mengajak manusia pada pengetahuan. Baginya tidak ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh pengetahauan, yakni ( menurut pandangannya) kemungkinan memperoleh pengetahuan adalah pasti.





Pendapat (Abdul Furqon)
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk dalam fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah. Sekadar contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan pemahaman akan biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa saham, ilmu ekonomi harus dipahami. Dll.



Pendapat ( Yuda Khaidar Nawawi)
merupakan perkara yang sangat penting karena selain individu berkeinginan untuk memililki satu bentuk pemikiran yang akan dijadikan sebagai landasan dalam aktivitas kehidupannya, juga sebagai jargon aliran dan ideologi. Saat ini sering terjadi pertikaian dan perselisihan antar pelbagai ideologi, fakultas, dan isme,
Islam memberi kedudukan sangat tinggi kepada akal manusia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an. Pengetahuan lewat akal disebut pengetahuan ‘aqli, lawannya adalah pengetahuan naqli. Aktifitas akal disebut berfikir. Berfikir merupakan cirri khas yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya di muka bumi ini.
Berhubungan dengan masalah rohani, dalam pemikiran islam, rohani memiliki unsure-unsur : 1.Akal, 2.Nafsu, 3.Qalbu, 4.Roh. Masing-masing organ tersebut diatas mempunyai fungsisendiri-sendiri.
Pengetahuan Lewat Indera
Kita telah membicarakan cara memperoleh pengetahuan lewat akal, sekarang akan dicoba memberi gambaran cara memperoleh pengetahuan lewat indera. Pengetahuan lewat indera ialah segala pengetahuan yang dapat diperoleh manusia lewat kelima inderanya (panca indera), yakni ; mata, hidung, perasaan (kulit), telinga dan lidah. Pengetahuan indera disebut pengetahuan inderawi (naqli) atau pengetahuan empiri.
Dengan demikian, Filsafat Pengetahuan Islam adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah objektivitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subjek islam sebagai titik tolak berpikir.
“Anda mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan dengan dalil bahwa penglihatan saya terkadang keliru, suatu kali saya pernah melihat seakan-akan ada seorang yang berkepala dua, ranting pohon yang setengahnya berada dalam air terlihat patah dan lain sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa indera dapat melakukan  kekeliruan, apakah saat anda menyaksikan indera melakukan kekeliruan, saat itu juga anda merasa yakin bahwa itu adalah suatu kekeliruan, ataukah anda merasa ragu bahwa indera itu telah melakukan kekeliruan? Ketika Anda mengatakan bahwa saat saya bangun dari tidur, dan saya mengusap kedua mata saya, saya melihat orang yang tengah berdiri dihadapan saya memiliki dua hidung dan empat mata, lalu Anda mengatkan bahwa ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda mengetahui dan yakin bahwa itu adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga bahwa itu adalah kekeliruan? Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah kekeliruan, pasti itu tidak memiliki dua hidung dan empat mata.”
Dengan demikian Al-Qur’an tidak mengakui pelarangan penggalian pengetahuan, tetapi bahkan mendukung pengetahuan. Hal ini cukup jelas, ketika Al-Qur’an mengajak manusia pada pengetahuan, Al-Qur’an sama sekali tak mengajak pada sesuatu yang tidak mungkin (mustahil). Apa yang hendak dikatakan oleh Al-Quran saat menceritakan kisah Adam as dan keluasan pengetahuannya? Al-Qur’an hendak mengatakan, “Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan yang tidak terbatas, dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.” Dengan demikian maka Al-Quran mengakui adanya kemungkinan untuk memperoleh epistimologi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar