Epistemologi Menurut Pandangan Al Quran
Epistemologi menurut pandangan Al Quran menurut para Ulama disebut
juga dengan Nazhariah Al Ma’rifah (Epistemologi), merupakan satu masalah
yang penting. Pada masa sekarang ini , berbagai filsafat
sosial,fakultas,ideologi, isme, merupakan perkara yang sangat penting
karena selain individu berkeinginan untuk memililki satu bentuk pemikiran yang
akan dijadikan sebagai landasan dalam aktivitas kehidupannya, juga sebagai
jargon aliran dan ideologi. Saat ini sering terjadi pertikaian dan perselisihan
antar pelbagai ideologi, fakultas, dan isme,
Sejak dahulu Senantiasa terjadi pertikaian dalam masalah ideologi,
akidah dan bentuk pemikiran. Pada masa dahulu sebagian bentuk besar pemikiran
dan akidah berada disisi permasalahan yang sifatnya teori semata dan itupun
hanya terdapat dalam kalangan khusus saja. Tetapi pada masa sekarang
ini,dikarenakan berbagai filsafat sosial tentang telah melangkahkan kakinya ke
tengah masyarakat, maka peperangan akidah yakni peperangan antar fakultas,
ideologi dan isme semakin bertambah besar dan luas.
Hubungan Antara Ideologi dan Pandangan Dunia
Sandaran dan dasar
dari berbagai ideologi adalah pada pandangan dunianya. Pandangan dunia, ialah
bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, hasil kajian, yang ada pada
seseorang berkenaan dengan alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah.
Berbagai golongan
dan individu memiliki pandangan dunia yang saling berbeda. Yaitu satu golongan
meyakini alam ini demikian dan golongan lain yang menyatakan bahwa alam ini
adalah demikian. Jika pandangan dunia saling berbeda pula. Karena sandaran dan
asas ideologi pun akan saling berbeda pula. karena sandaran dan asas ideologi
serta yang memperkuat satu bentuk pemikiran itu adalah pandangan dunia.
Ideologi
menentukan sederetan perintah dan larangan ; ia mengajak manusia pada sebuah
tujuan tertentu serta menunjukan jalan yang dapat mengantarkan sampai jalan
tersebut. Ideologi akan menentukan mengenai kita seharusnya bagaimana kita
harus hidup yang bagaimana ,kita harus
membina yang bagaimana ,kita harus membina diri berdasarkan pola yang bagaimana
bagaimanakah kita membina dan membangun masyarakat kita ini. Ideologi menetukan
semua permasalahan itu dan mengatakan, “Harus demikian kalian harus hidup
secara demikian kalian harus jadi demikian, binalah dirimu semacam ini,
bangunlah masyarakatmu semacam ini.”
Semuanya memiliki alasan “mengapa”. Anda mengatakan “harus begini”
lalu mengapa saya mesti begini tidak “begitu” ? Anda mengatakan, “harus semacam
ini” binalah dirimu semacam ini ,pilihlah tujuan semacam ini pilihlah tujuan
semacam ini.” Berbagai “mengapa” ini akan dijawab oleh pandangan dunia. Ketika saya
menyatakan kalian harus demikian, adalah karena alam ini demikian, manusia
adalah satu wujud esensi dan hakikat
manusia adalah demikian, esensi dan hakikat masyarakat ialah demikian jiwa
manusia memiliki identitas, hukum dan ketentuan yang demikian. Pandangan dunia
akan memberi tahu mengenai apa” yang ada “ dan apa “yang tidak ada” ketentuan
dan hukum – hukum apa sajakah yang berlaku pada alam dan manusia, hukum-hukum
apa yang berlaku pada masyarakat, kemana
arah gerakan yang ada, bagaimana gerakan alam ini, serta apa hakikat dari
keberadaan ini.
Bagaimanapun
bentuk yang kita pikirkan tentang pandangan dunia, maka ideologi kita juga akan
selalu mengikuti bentuk pandangan dunia tersebut. Sebagai misal, tidak mungkin
ada orang yang menyakini bahwa alam ini andalah materi semata, akan tetapi pada
saat yang sama ia memikirkan adanya akan adanya kehidupan yang kekal abadi
yakni memiliki satu bentuk tuntunan,bahwa jika engkau hendak hidup bahagia
dalam sana, maka engkau mesti berbuat demikian. dalam bentuk pandangan itu
(materialistisme) tidak ada lagi pembahasan mengenai kebahagiaan yang kekal dan
abadi. Dari sinilah bahwa ideologi merupakan buah hasil dari “pandangan dunia”.
Pandangan dunia , tidak ubahnya seperti “bangunan bawah” (Asas fondasi) dari suatu
pemikiran sedangkan ideologi adalah ”bangunan atas” bentuk satu pemikiran itu
yakni dalam satu sistem pemikiran manusia “pandangan dunia” tidak ubahnya
semacam bangunan yang paling bawah, dan ideologi adalah bangunan bagian atas
yang ideologi didirikan berdasarkan pada berbagai ketentuan dan tuntunan yang
ada padanya (pandangan dunia). Jika hendak menjelaskan permasalahan ini dengan menggunakan
pernyataan ulama kuno, maka mesti mengatakan ideologi ialah hikmat amali
(Ilmu Praktis) dan pandangan dunia adalah hasil dari hikmat nazhari, dan
bukannya hikmat Azhari buah dari hikmat amali.
Akar Perbedaan Pandangan Dunia
Kesimpulan bahwa ideologi adalah hasil pandangan dunia. Kemudian
muncul pertanyaan yang lain : Mengapa bentuk pandangan dunia berbeda-beda? Mengapa
ada sebagian yang memiliki pola pikir materialistis sementara yang memiliki
pandangan dunia Ilahi (meyakini keberadaan Tuhan) sebagian menghasilkan
argumen ,dari argumen tersebut menghasilkan satu bentuk pandangan dunia dan
sebagian lain juga mengeluarkan sederetan argumen dan dari argumen itu juga
menghasilkan satu bentuk pandangan dunia yang berbeda.
Jawabannya adalah, kara sebagian memandang alam ini meiliki suatu
bentuk , dan sebagiannya lagi memandang memiliki bentuk yang lain; yang satu
pengetahuannya mengenai alam adalah demikian dan tidak mungkin pengetahuan yang
ini benar dan itu juga benar dari dua
bentuk pengetahuan ini salah satunya
salah dan yang lainnya benar disinilah letak pembahasan mengenai epistemologi,
bentuk epistemologi yang benar dan mana epistemologi yang salah.
Urgensi Pengetahuan
Dunia ini penuh dengan berbagai fakultas, isme,dan ideologi. Isme
dan setiap ideologi pasti berdasarkan pada satu “pandangan dunia” dan
“pandangan dunia” berpijak pada epistemologi. Ideologi materialistis tentunya
berlandaskan pada pandangan dunia materialistis, dan pandangan itu juga
berlandaskan pada satu bentuk pandangan khusus terhadap satu epistemologi.
Sedangkan yang lain, yang memiliki bentuk ideologi yang berbeda, juga
berlandaskan bentuk yang lain dari pandangan dunia, dan pandangan itu juga
berlandaskan pada suatu epistemologi. Disebabkan semua ini ,
Masalah epistemologi merupakan satu masalah yang amat penting,
sedangkan pada masa yang lalu mereka tidak merasakan pentingnya masalah ini.
Sebagaimana yang telah dirasakan oleh mereka yang hidup sekarang ini. Tetapi
masalah epistemologi adalah satu masalah yang sudah ada sejak dulu , kurang
lebih dari masa dua ebi tahun yang lalu. Didalam filsafat Islam, kita tidak
akan menjumpai bab yang berjuduk Nazhariah al Ma’rifah atau “Teori
Pengetahuan” tetapi sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah
epistemologi dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan
berkenaan dengan Ilmu, Pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai
permasalahan yang berhubungan dengan bentuk-bentuk pemikiran serta pembahasan
berbagai permasalahan yang berhubungan dengan diri dan jiwa.
Oleh sebab itu,maka sejak dahulu sedikit banyak mereka juga
memahami pentingnya masalah epistemologi , namun sekarang ini, filsafat dunia
sekarang ini lebih banyak berputar pada masalah epistemologi.
Penulis tidak akan banyak memaparkan seluruh permasalahan yang
berhubungan tentang masalah epistemologi, tetapi penulis akan memaparka
bagian-bagian terpenting agar menjadi sistematis dan ilmiah.
Kemungkinan pengetahuan
Pembicaraan pertama dalam bab epistemologi yang sejak dahulu
ialah,mungkinkah manusia memiliki pengetahuan ? mungkinah kita mengetahui dan
memahami alam ini. Mungkinkah kita mengetahui hakikat manusia? Mungkinkah kita
mengetahui hakikat wujud ini ? ada sebagian orang yang secara total menolaknya
dan yang menyatakan manusia tidak mungkin memiliki pengetahuan. Yakni pada diri manusia tidak
ada satu bentuk pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai sandaran dan dapat
dipercaya. Istilah agnotisisme sudah merupakan kodrat ketentuan dan nasib
manusia yang tidak dapat diubah, secara sekilas fakultas ini merupakan fakultas
yang lemah dan tidak perlu dihiraukan, namun para pendukung fakultas ini
memiliki berbagai argumen yang amat kuat, yang tidak mudah untuk dipatahkan.
Penulis tidak mengaakan hal itu tidak mungkin (mematahkan argumen mereka)
tetapi penulis katakan hal itu tidak mudah.
Pyhro Dan Kemungkinan Pengetahuan
Pada masa setelah Socrates, ada sekelompok orang yang menamakan
dirinya “sophisme” dan yang terkenal diantara mereka adalah seorang yang
bernama Pyhro. Ia menyajikan sepuluh argumen mengenai ketidakmungkinan manusia
memiliki pengetahuan. Ia mengatakan “mengetahui adalah satu yang mustahil,
‘ragu’ dan ‘saya tidak tahu’ adalah ketentuan dan nasib pasti manusia“ argumen
sederhana yang ia sampaikan adalah; “bila manusia hendak mengetahui sesuatu,
apa alat dan instrumen yang akan ia gunakan? Kita tidak memiliki alat lebih
dari dua, indra dan rasio. Sekarang saya bertanya ‘apakah indra dapat berbuat
salah atau tidak? Pasti semua akan menjawab kesalahan terjadi pada indra
penglihatan,pendengaran, perasa, peraba dan penciuman tidak terhitung jumlahny,
bahkan ada yang menyatakan mampu untuk membuktikan seratus kesalahan yang telah
dilakukan oleh alat penglihatan. Ia melanjutkan “sesuatu yang ada kemungkinan
salah dan dapat menjadi salah, tidak dapat dijadikan sandaran dan pandangan.
Ketika saya melihat sesuatu dan ternyata penglihatan saya itu salah maka saya
tidak dapat mempercayai penglihatan saya ketika penglihatan itu melihat
penglihatan yang lain.”
Lalu bagaimana dengan rasio?Ia mengatakan
“ Rasio justru banyak melakukan kesalahan melebih indra. Pada
berbagai argumen yang rasio, ilmuwan dan para filosof sering kali melakukan
kesalahan. Dengan demikian, maka indra dapat melakukan kesalahan, dan rasio pun
juga dapat melakukan kesalahan sementara kita tidak memiliki sesuatu yang lain
selain hal ini oleh kara itu bagaimanapun dan apapun yang kita pikirkan, apapun
yang berhubungan dengan rasio dan indra ataupun keduanya, maka jelas dapat
menjadi salah, dengan demikian maka kita tidak dapat mempercayainya dan
menjadikan keduanya itu sebagai pegangan.”
Keraguan
Al-Ghazali
Di antara ulama Islam yang pertama kali memulai filsafat dan
alirannya berangkat dari keraguan adalah al-Ghazali. Al-Ghazali memulai
aktivitasnya dari keraguan, sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes. Kedua
sosok itu berangkat dari titik yang sama. Keduanya memulai aktivitasnya dari
keraguan dan keduanya menyatakan bahwa telah berhasil meraih keyakinan. Tetapi
ada dari mereka yang melalui aktivitasnya dari keraguan dan tetap berada dalam
keraguan. Tatkala al-Ghazali hendak memulai menuntut ilmu, ia meragukan segala
yang ada. Yakni dia meragukan apa saja yang telah ia gapai. Ia mulai menuju
indera dan mengatakan,
“Sekarang saya duduk disini, buku ada di depan saya, pena dan
kertas ada di tangan saya, sedang melihat angkasa, saya tengah mendengar
berbagai suara, sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak
dapat ragu terhadap keraguan saya ini”.
Descartes Dan
Masalah Pengetahuan
Descartes juga saat meneliti “pandangan dunia”nya, memeriksa
keyakinannya terhadap agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji
ulang akhlak (etika), filsafat dan berbagai ilmu-ilmu lainnya, tiba-tiba ia
terperosok ke dalam masalah pengetahuan dalam mengatakan,
“Dengan dalil apa saat saya menyatakan bahwa alam ini adalah
demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, roh itu ada, dunia ini ada, kota paris
itu ada, agama al-Masih adalah demikian?”
Kemudian ia menuju pada berbagai alat dan instrumen epistemologi,
ia melihat bahwa semuanya masih dapat diperdebatkan lagi. Ia hendak bersandar
pada indra, ia melihat bahwa indera adalah yang paling lemah dan rapuh
dibandingkan yang lain. Ia hendak bersandar pada rasio, ia juga melihat rasio
juga terdapat kelemahan. Tiba-tiba ia merasakan kehilangan keyakinan dan
kepercayaan, ia mulai meragukan segalanya dan tidak tersisa lagi keyakinan
dalam dirinya. Ketika ia telah tenggelam dalam rasa bimbang dan ragu-ragu ini,
tiba-tiba ia disadarkan oleh poin ini dimana ia mengatakan,
“Meskipun saya meragukan segala yang ada, tetapi saya tidak ragu
bahwa saya sedang dalam keadaan ragu”.
Jawaban Atas
Keraguan Pyrho
Masalah pertama epitemologi adalah masalah probabilitas pengetahuan
yaitu mungkinkah manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan mengetahui?
Pyrho mengatakan bahwa manusia tidak mampu memahami dan mengetahui
(hal itu berdasarkan argumen-argumennya yang telah saya kemukakan). Yang jelas,
mereka telah mampu untuk memberikan jawaban dan sanggahan atas pandangan pyrho
itu.
Sebagian dari pengetahuan kita ini salah dan pasti sebagian yang
lain adalah benar, lalu (dengan menggunakan epistemologi yang benar itu) kita
melakukan koreksi pada epistemologi yang salah itu. Dari sinilah munculnya ilmu
logika (mantiq). Mereka memberikan jawaban kepada Pyrho sebagai berikut,
“Anda mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan dengan
dalil bahwa penglihatan saya terkadang keliru, suatu kali saya pernah melihat
seakan-akan ada seorang yang berkepala dua, ranting pohon yang setengahnya
berada dalam air terlihat patah dan lain sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa
indera dapat melakukan kekeliruan,
apakah saat anda menyaksikan indera melakukan kekeliruan, saat itu juga anda
merasa yakin bahwa itu adalah suatu kekeliruan, ataukah anda merasa ragu bahwa
indera itu telah melakukan kekeliruan? Ketika Anda mengatakan bahwa saat saya
bangun dari tidur, dan saya mengusap kedua mata saya, saya melihat orang yang
tengah berdiri dihadapan saya memiliki dua hidung dan empat mata, lalu Anda
mengatkan bahwa ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda mengetahui dan
yakin bahwa itu adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga bahwa itu adalah
kekeliruan? Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah kekeliruan, pasti itu tidak
memiliki dua hidung dan empat mata.”
Oleh karena itu, kita harus mengatakan,
“Manusia, pada sebagian pengetahuan yang ia miliki terdapat
kekeliruan juga secara pasti tidak terdapat kekeliruan pada sebagian
pengetahuannya yang lain.”
Logika adalah sebuah ilmu yang merupkan asas dari pengetahuan.
Berkaitan dengan mungkin atau tidak mungkinnya memperoleh pengetahuan, sebagian
yang menyatakan bahwa kita tidak mungkin memperoleh pengetahuan adalah karena
mereka mengeneralilisasi permasalahan yang ada, sementara mereka yang
menyatakan bahwa kita ada kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang salah
dan yang benar, dan dengan neraca itu pula mereka akan memisah-misahkan antara
pengetahuan yang salah dan pengetahuan yang benar.
Sekalipun (Al-Qur’an menyatakan) ada kemungkinan untuk memperoleh
penegtahuan, tetapi dikarenakan hal itu datangnya dari Al-Qur’an dan mazhab,
maka pengetahuan yang berada dalam lingkup ideologi itu, kemungkinan akan
memiliki suatu hukum tertentu, dan hukum tersebut ialah: apakah pengetahuan itu
dibenarkan oleh syariat (masyru’) ataukah bahkan dilarang (mamnu’)?
Di dalam Taurat permasalahan ini dijelaskan dengan sebuah
penjelasan yang lain dari pada yang lain, dan dikarenakan kita meyakini bahwa
Taurat adalah sebuah kitab yang
didalamnya telah terjadi perubahan dan penyimpangan – yakni tatkala kita
membandingkannya dengan Al-Qur’an, suatu permasalahan yang dijelaskan oleh
Al-Qur’an dan juga oleh Taurat dalam menjelaskan permasalahan itu bertolak
belakang dengan penjelasan Al-Qur’an.
Penyimpangan
Sejarah Paling Merugikan
kisah Nabi Adam as selain tercantum dalam Al-Qur’an juga tercantum
dalam taurat. Kisah tersebut ialah: Adam as dan istrinya selama berada di surga
diperbolehkan untuk menikmati berbagai kenikmatan dan seluruh buah-buahan yang
ada, namun di sana terdapat suatu jenis pohon yang mana mereka berdua tidak
diperbolehkan untuk mendekatinya dan memakan buahnya. Adam as memakan buah
pohon tersebut dan dikarenakan hal itulah maka ia dikeluarkan dari surga.
Inilah kisah yang terdapat dalam al-Qur’an dan juga Taurat.
Buah terlarang yang dimaksudkan di atas itu adalah berhubungan
dengan sisi kebinatangan (hayawaniah) manusia dan bukan berhubungan dengan sisi
kemanusiaan (insaniah) manuai. Yakni suatu perkara yang merupakan bagian dari
hawa nafsu, keserakahan, iri, dengki, yang menurut istilah disebut dengan “anti
kemanusiaan”. Janganlah engkau mendekati pohon tamak, yakni janganlah engkau
merasa tamak. Janganlah engkau mendekati pohon dengki, yakni janganlah engkau
mendengki. Tetapi Adam as, menjatuhkan dirinya dari kemanusiaan dan mendekati
pohon itu. Ia mendekati pada tamak, serakah, dengki, takabur, yakni mendekati
pada berbagai perkara yang merendahkan serta menjatuhkan nilai-nilai
kemanusiaan. Allah SWT berfirman kepadanya, “keluarlah dari sini.” (kapan Allah
mengusir dari surga?) Allah mengusir dari surga setelah,
Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama-nama benda-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!”
Setelah Allah mengajarkan kepadanya seluruh hakikat. (lalu Allah
berfirman), “Ini bukan tempat tinggalmu, keluarlah dari sini!”
Isi kitab taurat telah diselewengkan oleh orang-orang yang memiliki
tujuan keji, di mana di sana disebutkan bahwa pohon yang tidak boleh didekati
oleh Adam adalah berhubungan dengan sisi kemanusiaan Adam dan bukan berhubungan
dengan sisi kebinatangan, berkaitan dengan ketingian kedudukan Adam dan bukan
kerendahan kedudukan Adam. Bagi Adam terdapat dua bentuk kesempurnaan dan Allah
tidak menginginkan kedua kesempurnaan itu diraih oleh Adam secara sekaligus;
pertama, kesempurnaan pengetahuan dan kedua: kekekalan di surga.
Adam telah merasakan bauh
dari pohon pengetahuan, lalu matanya terbuka dan pada saat itu ia mulai mengetahui
apa yang baik dan apa yang buruk. Ia bergumam, “Sebelum ini saya dalam keadaan
buta, sekarang ini mata saya terbuka. “Kemudian Allah SWT berfirman kepada para
malaikat.” Lihatlah! Kami tidak menghendaki ia menikmati buah dari pohon
pengetahuan dan epistemologi, tetapi ia telah memakannya, dan matanya menjadi
terbuka. Ini amat berbahaya jika ia sampai memakan buah pohon kekekalan, yang
akhirnya ia akan hidup kekal. Dengan demikian maka sebaiknya kita keluarkan
saja ia dari surga!”.
Bentuk pengetahuan dan penyelewengan ini, mengakibatkan kerugian
yang cukup besar. Akhrnya mereka mengatakan, “Dengan demikian maka cukup jelas,
adanya kontradiksi antara agama dan pengetahuan. Adam mesti beragama dan
mematuhi perintah Tuhan, atau memakan buah pengetahuan sehingga mataya menjadi
terbuka, atau mematuhi perintah Tuhan dan matanya tetap dalam keadaan buta dan
tidak mengetahui sesuatu apapun, atau memiliki pengetahuan tetapi melanggar
perintah Tuhan. “Kemudian lambat laun di Eropa muncul berbagai ungkapan di antaranya
ialah, “Jika seseorang yang mengikuti Socrates, mesti hidup sengsara dan
kelaparan, tetapi itu justru jauh lebih baik dari pada menjadi budak,” “Sehari
saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan-pen), itu jauh lebih
saya sukai dari pada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh-pen) dan kemudian
berharap akan masuk surga,” “Saya lebih suka berada dalam neraka Jahanam denagn
mata terbuka (memiliki pengetahuan-pen), dari pada berada dalam surga dalam
keadaan buta (bodoh-pen).”
Hal inilah yang menyebabkan di Eropa muncul sebuah pemikiran yang
sangat mengkhawatirkan, yaitu adanya kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan
agama. Anda jangan mengira bahwa pemikiran semacam ini munculnya dari mepat
ilmuwan yang mengeluarkan pendapatnya. Tidak, tetapi akar pemikiran itu
terdapat dalam agama Nasrani dan Yahudi yang keduanya mengangap Taurat sebagai
“perjanjian lama” dari kitab samawi. Yakni di sana disebutkan bahwa kalian
meski konsisten terhadap agama dan nantinya kalian masuk ke dalam surga yang
penuh dengan kenikmatan, makan, minum, tidur dengan leluasa serta berkeliling
ke berbagai penjuru surga, tetapi mata kalian mesti dalam keadaan tertutup.
Tetapi jika mata kalian terbuka, maka kalian mesti hidup dalam keadaan sengsara
dan menanggung berbagai beban penderitaan.
Al-Qur’an Dan
Kisah Adam As
Sebelum nabi Adam as menempati surga telah dikatakan kepadanya
untuk tetap tinggal di sana, matanya dalam keadaan terbuka, telah mengetahui
berbagai rahasia alam, ia adalah seorang manusia dan bukan seekor binatang yang
matanya dalam keadaan tertutup, dan karena memakan buah dari pohon itu lalu
matanya menjadi terbuka. Sejak pertama masuk ke dalam surga Adam as adalah
seorang manusi, maka ia memiliki pengetahuan, epistemologi, memahami dan
mengetahui berbagai hakikat. Adam as dikeluarkan dari surga adalah karena ia
telah keluar dari sisi kemanusiaan.
Dari
Epistemologi Ke Filsafat Ilmu
Bahwa baik epistemologi maupun filsafat ilmu sama-sama merupakan
cabang filsafat yang secara khusus membahas proses keilmuan manusia. Keduanya
memiliki lebih banyak persamaan dari pada perbedaan. Perbedaan itu hanyalah
terletak pada objek material (baca: objek kajian) nya, yakni dalam hal ini
epistemilogi menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai objek kajiannya, sedang filsafat
ilmu, objek kajiannya adalah ilmu pengetahuan. Meski demikian, dewasa ini kedua
objek kajian ini sudah merupakan pembahasan yang – bisa dikatakan - beda tipis (untuk tidak mengatakan sama).
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme, yang berarti pengetahuan dan Logos yang berarti ilmu. Dalam bidang ini terdapat tiga persoalan
pokok: (a). Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang
benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya? (b). Apakah sifat dasar
pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Kalau
ada, apakah kita dapat mengetahuinya? (ini adalah persoalan yang mengarah pada
problem phenomena dan noumena). (c). Apakah pengetahuan kita
itu benar (valid)? Bagaimanakah kita
dapat membedakan yang benar dari yang salah? (poin ini adalah yang mengarah
pada problem verifikasi. Tiga persoalan pokok ini merupakan objek formal dari
epistemologi, sekaligus merupakan objek formal dari filsafat ilmu, sebagai
perspektif dalam melihat objek materialnya, yakni ilmu. Dari sinilah kemudian
dikenal istilah hakikat ilmu atau struktur fundamental ilmu, yang tak lain
adalah persoalan-peroalan pokok di atas.
Epistemologi maupun filsafat ilmu, memiliki sejarahnya
masing-masing, namun karena adanya persamaan perspektif dalam melihat objek
kajiannya, maka bisa difahami jika dalam banyak litelatur kedua disiplin
tersebut kemudian terlihat identik. Dalam filsafat ilmu, kemudian dikenal
dengan “asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia”.
Filsafat ilmu merupakan perkembangan lebih jauh dari epistemologi.
Epistemologi sebenarnya telah memperoleh maknanya yang baru, sekaligus memiliki
maknanya yang luas sampai pada ‘garapan’ filsafat ilmu.
Berkenalan
Dengan Epistemologi Islam
Pembahasan
ini akan membicarakan rekontruksi Al-Jabiri tentang tipologi “Epistemologi
Islam”, yaitu bayani, irfani, dan burhani. Pemikiran al-Jabiri ini di tuangkan
secara luas dalam bukunya: Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut, al-Markaz
al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993).
Epistemologi
Bayani
Bayani dalam bahasa Arab berarti penjelasan (explanation). Arti
asal katanya adalah menyingkap dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan
maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafadz yang paling baik
(komunikatif). Para ahli ushul fiqh memberikan pengertian, bahwa bayan adalah
upaya menyingkap makna dari pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara
terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada para
mukallaf. Artinya bisa disebut sebagai upaya mengeluarkan suatu ungkapan dari
keraguan menjadi jelas.
Al-Jabiri memaknai al-bayan secara etimologis, dengan mengacu
kepada kamus Lisan al-Arab karya Ibn
Mandzur, yang didalamnya tersedia materi-materi bahasa Arab sejak permulaan
masa tadwin, yang masih mempunyai makna asli yang belum tercampuri oleh
pengertian lain, karena dari makna asli tersebut akan diketahui watak dan
situasi yang mengitarinya.
Sedang secara terminologis kajian bayani terbagi kepada dua, yaitu
: aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin
al-tafsir al-khithabi) dan syarat-syarat memprodulsi wacana. (syurut intaj al-khithabi).
Bagi Al-Jahidz, untuk mendapatkan makna yang tepat perlu ditetapkan
syarat-syarat di dalam pengambilan kesimpulan, yaitu: 1) Bayan dengan
mensyaratkan kefasihan ucapan sebagai penentu makna; 2) Bayan dengan seleksi
huruf dan lafadz; 3) Bayan dengan makna terbuka. Dalam hal ini makna bisa
diungkap dengan salah satu dari lima bentuk penjelasan, yaitu lafadz, isyarah,
tulisan, keyakinan, dan keadaan atau nishbah; dan 4) Bayan dengan syarat
keindahan.
Epistemologi Bayani, tidak cukup hanya dengan memperhatikan
kaidah-kaidah bahasa dan proses transmisinya, namun juga harus berpijak pada
‘dalil-dalil’ burhani.
Epistemologi
Irfani
Irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab merupakan
bentuk dasar (masdar) dari kata ‘arafa, yang semakna dengan ma’rifat. Dalam
bahasa arab istilah al-Irfan berbeda dengan kata al-ilm. Al-ilm menunjukkan
pemerolehan objek pengetahuan (al-ma’lumat) melalui tranformasi (naql) ataupun
rasionalitas (aql), sementara irfan atau ma’rifat berhubungan dengan pengalaman
atau pengetahuan langsung dengan objek pengetahuan.
Bagi kalangan irfaniyun, pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan)
tidak diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, tetapi harus melalui
pengalaman langsung (mubasyaroh).
Jika sumber pokok (origin) ilmu pengetahuan dalam epistemologi bayani
adalah teks (wahyu), dalam epistemologi irfani ini, sumber pokoknya adalah
experience (pengalaman).
Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam penggalian ilmu
adalah psikognosis, intuisi, ilham, qalb, dlamir dan semacamnya.
Apabila dalam epistemologi bayani terdapat konsep lafadz dan makna,
dalam irfani terdapat konsep dzahir dan batin sebagai kerangka dasar atas
pandangannya terhadap dunia (world view) dan cara memperlakukannya.
Epistemologi Burhani
Dalam bahasa arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang
jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris
adalah demonstration yang mempunyai akar bahasa latin: demonstratio (berarti
memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika
(al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu
premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis
tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti
kebenarannya (badlihiyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah
aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Dalam memandang proses keilmuan, kaum burhaniyun bertolak dari cara
pikir filsafat dimana hakikat sebenarnya adalah universal.
Secara struktural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga
hal, pertama adalah proses eksperimentasi yaknni pengamatan terhadap realitas;
kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam
pikiran; dan ketiga adalah ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam
kata-kata.
Pendapat:
Kritik pada bukunya Muhhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar, 2004): Menurut penyusun, buku ini
sangat bagus karena buku ini menjelaskan tentang Epistemologi ke Filsafat Ilmu
dan Berkenalan dengan Epistemologi Islam. Dan menjelaskan pengertian dari
Epistemologi itu sendiri, tapi buku ini kurang lengkap karena tidak menjelaskan
tentang Epistemologi menurut Pandangan Al-Qur’an.
Kritik pada bukunya Murtadha Muthahahhari: buku ini juga sangat
bagus tapi ada kata-kata yang belum bisa di pengerti oleh penyusun yaitu
“Jika seseorang yang mengikuti Socrates, mesti hidup sengsara dan
kelaparan, tetapi itu justru jauh lebih baik dari pada menjadi budak,” “Sehari
saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan-pen), itu jauh lebih
saya sukai dari pada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh-pen) dan kemudian
berharap akan masuk surga,” “Saya lebih suka berada dalam neraka Jahanam dengan
mata terbuka (memiliki pengetahuan-pen), dari pada berada dalam surga dalam
keadaan buta (bodoh-pen).”
Dalam ungkapannya Socrates yang di atas itu, sebenarnya apa yang
tengah terjadi pada saat itu? Apakah semua orang menyetujui dengan ungkapan
Socrates?
Bila dilihat dari kedua buku, kedua-duanya bagus dan saling
melengkapi karena pembahasan yang tidak ada di bukunya Muhhammad Muslih itu ada
di bukunya Murtadha Muthahahhari.
Saran: penyusun mengharapkan agar pembaca tidak hanya membaca
resuman ini, tapi lebih di perbanyak membaca dari buku para karya lainnya.
Dia (Allah) menegaskan bahwa di sini (Surga) adalah tempat untuk
manusia. Adam as telah keuar dari kemanusiaannya dan diturunkan dari surga.
Adam as tidak mengamalkan pengetahuan yang ia miliki.
Pengetahuan melahirkan “pandangan dunia”, dan “pandangan dunia”
melahirkan ideology dan ideologi perlu pengalaman. “Saya (Adam) adalah manusia
dan saya mengetahui berbagai hakikat.Dan karena saya Adam mengetahui Alam
semesta sedemikian rupa, maka saya terikat dengan harus (perintah) dan tidak
harus (larangan). Tetapi saya tidak menghiraukan ‘harus dan tidak harus’ itu,
tidak merasakan adanya rasa tanggung jawab, semestinya sekalipun adanya
bisikan:’ Pohon itu adalah pohon kekalan, karena Allah merasa iri kepadamu,
maka Dia melarangmu memakan buahnya. Sekarang pergilah kepohon itu dan makanlah
buahnya’
Wahai Adam! Anda adalah seorang manusia, Anda memiliki
epistemology, Anda memiliki ‘Pandangan dunia”, Anda memiliki idologi, dan pada
akhirnya ideologi membutuhkan amal perbuatan (perbuatan memiliki dua sisi: sisi
positif dan sisi negative), diperlukan ketakwaan , dan menjaga diri.
Dalam logika islam, sebab Adam as dikeluarkan dari surga adalah
karena ia tidak mengamalkan peringkat ke empat dari pengetahuannya. Peringkat
pertama adalah epistemology, kemudian “pandangan hidup”, kemudian ideologi dan
terakhir ideology mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak mengakui pelarangan penggalian
pengetahuan, tetapi bahkan mendukung pengetahuan. Hal ini cukup jelas, ketika
Al-Qur’an mengajak manusia pada pengetahuan, Al-Qur’an sama sekali tak mengajak
pada sesuatu yang tidak mungkin (mustahil). Apa yang hendak dikatakan oleh
Al-Quran saat menceritakan kisah Adam as dan keluasan pengetahuannya? Al-Qur’an
hendak mengatakan, “Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali
pengetahuan yang tidak terbatas, dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya.” Dengan demikian maka Al-Quran mengakui adanya
kemungkinan untuk memperoleh epistimologi.
Dengan kisah itu Al-Quraan hendak menyatakan kepada seluruh
manusia, “Wahai manusia! Kalian adalah anak-anak Adam as itu, Anak dari Adam as
yang memiliki pengetahuan sedemikian rupaa. Kalian adalah anak Adam as yang
telah berhasil memperoleh pengetahauan yang tidak terbatas. Oleh karena itu
pergilih menuju pengetahuan yang tidak terbatas. Kalian adalah anak
pengetahuan.” Menurut pandangan Al-Quraan, anak Adam as adalah sama dengan anak
pengetahuan.
Ajakan Al-Quran
Pada Pengetahuan.
Dalam Al-Qur’an terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk
memperhatikan, melihat, dan merenungkan. Dalam Al-Qur’an terdapat berbagai
ungkapan semacam ini, Katakanlah:”Perhatikanlah
apa yang ada dilangit dan di bumi.”(QS, Yunus:101)
Al-Qur’an hendak menegaskan kepada manusia untuk memahami dan
mengetahui apa yang ada dilangit dan di bumi dengan menyatakan, “Wahai manusia
kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu
dan kenalilah masyarakat serta sejarahmu.” Bahkan Ayat, Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. (QS. Al-Maidah:105)
Al-Qur’an mengatakan: Dan
Allah mengambil kesaksian dalam diri mereka. (QS. Al- A’raf; 172) . Yakni
manusia memberikan kesaksian atas diri mereka sendiri. Pemberian kesaksian ini
ada dua bentuk. Yang pertama disebut dengan “menunaikan kesaksian” (ada’
asy-syahadah): Adakalanya seseorang member kesaksian atas sesuatu yang
sebelumnya pernah ia lihat dan saksikan, kemudian ia menyampaikan kepada orang
lain dan memberikan kesaksian. Dan yang kedua disebut dengan “menanggung
kesaksian” (tahammul asy-syahadah): Adakalanya ada seseorang yang dihadirkan di
suatu tempat untuk kemudian ia akan dijadikan sebagai saksi.
Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah menunjukan manusia kepada dirinya
sendiri (alhasil ayat ini adalah salah satu ayat yang berkenaan dengan fitrah).
Tatkala manusia telah meliahat diri mereka sendiri, kemudian Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Bukankah Aku
adalah Tuhanmu?. Mereka menjawab, “Ya.’Disini Al-Qur’an tidak menunjukan
bahwa Allah tidak menunjukan Zat-Nya kepada manusia.
Ketika engakau melihat dirimu sendiri maka engkau akan melihat-Ku,
ketika engakau melihat dirimu sendiri maka engkau akan mengenal-Ku. Ungkapan
“Barangsiapa yang mengenal dirinya, ia telah mengenal Tuhan-nya.” Merupakan
sebuah ungkapan popular di dunia.
Semua penjelasan yang diberikan
oleh selain Al-Qur’an, senantiasa meletakan dua pengenalan itu secara
berurutan, sedangkan Al-Qur’an menjelaskannya dengan sebuah kalimat bahwa
manusia cukup dengan mengenal diri, karena jia telah mengenal diri maka telah
meliahat Tuhan. Al-Qur’an mengajak manusia pada pengetahuan. Baginya tidak ada
lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh pengetahauan, yakni ( menurut
pandangannya) kemungkinan memperoleh pengetahuan adalah pasti.
Pendapat (Abdul Furqon)
Saat ini
pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang
memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia
keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora.
Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu
sosial (social
sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam
humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni,
bahasa, dan sejarah.
Penempatan
beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya
menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara
pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun
aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali
sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan
sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari
kata Inggris humanities, berarti (segala
pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau
demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena
sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.
Perlu
diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak
kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat.
Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu
ilmu saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau
multidisplin dalam memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada
di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan
jenis-jenis keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari
gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi Asia
Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural
studies), dll.
Tema-tema
yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai
macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.
Wilayah-wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman
Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi,
kini harus dipahami dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi,
psikologi, semiotik, bahkan filsafat).
Pendekatan
interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk
dalam fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan
kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih
dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini
menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah.
Sekadar contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan
pemahaman akan biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa
saham, ilmu ekonomi harus dipahami. Dll.
Pendapat ( Yuda Khaidar Nawawi)
merupakan perkara yang sangat penting karena selain individu
berkeinginan untuk memililki satu bentuk pemikiran yang akan dijadikan sebagai
landasan dalam aktivitas kehidupannya, juga sebagai jargon aliran dan ideologi.
Saat ini sering terjadi pertikaian dan perselisihan antar pelbagai ideologi,
fakultas, dan isme,
Islam memberi kedudukan sangat tinggi kepada akal manusia. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an. Pengetahuan lewat akal disebut
pengetahuan ‘aqli, lawannya adalah pengetahuan naqli. Aktifitas akal disebut
berfikir. Berfikir merupakan cirri khas yang dimiliki oleh manusia sebagai
makhluk yang paling tinggi derajatnya di muka bumi ini.
Berhubungan dengan masalah rohani, dalam pemikiran islam, rohani
memiliki unsure-unsur : 1.Akal, 2.Nafsu, 3.Qalbu, 4.Roh. Masing-masing organ
tersebut diatas mempunyai fungsisendiri-sendiri.
Pengetahuan Lewat Indera
Pengetahuan Lewat Indera
Kita telah
membicarakan cara memperoleh pengetahuan lewat akal, sekarang akan dicoba
memberi gambaran cara memperoleh pengetahuan lewat indera. Pengetahuan lewat
indera ialah segala pengetahuan yang dapat diperoleh manusia lewat kelima
inderanya (panca indera), yakni ; mata, hidung, perasaan (kulit), telinga dan
lidah. Pengetahuan indera disebut pengetahuan inderawi (naqli) atau pengetahuan
empiri.
Dengan
demikian, Filsafat Pengetahuan Islam
adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah objektivitas, metodologi,
sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subjek
islam sebagai titik tolak berpikir.
“Anda
mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan dengan dalil bahwa
penglihatan saya terkadang keliru, suatu kali saya pernah melihat seakan-akan
ada seorang yang berkepala dua, ranting pohon yang setengahnya berada dalam air
terlihat patah dan lain sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa indera dapat
melakukan kekeliruan, apakah saat anda
menyaksikan indera melakukan kekeliruan, saat itu juga anda merasa yakin bahwa
itu adalah suatu kekeliruan, ataukah anda merasa ragu bahwa indera itu telah
melakukan kekeliruan? Ketika Anda mengatakan bahwa saat saya bangun dari tidur,
dan saya mengusap kedua mata saya, saya melihat orang yang tengah berdiri
dihadapan saya memiliki dua hidung dan empat mata, lalu Anda mengatkan bahwa
ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda mengetahui dan yakin bahwa itu
adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga bahwa itu adalah kekeliruan?
Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah kekeliruan, pasti itu tidak memiliki
dua hidung dan empat mata.”
Dengan demikian
Al-Qur’an tidak mengakui pelarangan penggalian pengetahuan, tetapi bahkan
mendukung pengetahuan. Hal ini cukup jelas, ketika Al-Qur’an mengajak manusia
pada pengetahuan, Al-Qur’an sama sekali tak mengajak pada sesuatu yang tidak
mungkin (mustahil). Apa yang hendak dikatakan oleh Al-Quran saat menceritakan
kisah Adam as dan keluasan pengetahuannya? Al-Qur’an hendak mengatakan, “Wahai
manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan yang tidak
terbatas, dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”
Dengan demikian maka Al-Quran mengakui adanya kemungkinan untuk memperoleh
epistimologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar